Kabupaten
Purworejo (Jawa: purwareja),
adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukota berada di
kota Purworejo. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo
dan Kabupaten Magelang
di utara, Kabupaten Kulon
Progo (Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta di timur), Samudra Hindia di selatan,
serta Kabupaten Kebumen di sebelah
barat. Kabupaten Purworejo terletak pada posisi 109o 47’28” – 110o
8’20” Bujur Timur dan 7o 32’ – 7o 54 Lintang
Selatan.
Logo Kabupaten Purworejo |
Secara topografis, Kabupaten
Purworejo merupakan wilayah beriklim tropis basah dengan suhu antara 19 C – 28
C, sedangkan kelembaban udara antara 70% - 90% dan curah hujan tertinggi pada
bulan Desember 311 mm dan bulan Maret 289 mm. Kabupaten Purworejo memiliki luas
1.034,81752 km2 . Bagian selatan wilayah Kabupaten Purworejo merupakan
dataran rendah. Bagian utara berupa pegunungan, bagian dari Pegunungan Serayu. Di
perbatasan dengan DIY, membujur Pegunungan Menoreh. Purworejo
berada di jalur utama lintas selatan Pulau Jawa. Kabupaten ini juga dilintasi
jalur kereta api, dengan stasiun terbesarnya di Kutoarjo. Kabupaten Purworejo terdiri atas
16 kecamatan, yang dibagi lagi atas
sejumlah 469 desa dan 25 kelurahan.
Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Purworejo.
Kondisi demografi kabupaten Purworejo pada tanggal 22 Mei 2010 tercatat bahwa
jumlah penduduk di kabupaten purworejo sebanyak 898,631.
BAB
II
ISI
A.
Sejarah
Purworejo
Hamparan wilayah yang subur di Jawa
Tengah Selatan antara Sungai Progo dan Cingcingguling sejak jaman dahulu kala
merupakan kawasan yang dikenal sebagai wilayah yang masuk Kerajaan Galuh. Oleh
karena itu menurut Profesor Purbocaraka, wilayah tersebut disebut sebagai
wilayah Pagaluhan dan kalau diartikan dalam bahasa Jawa, dinamakan : Pagalihan.
Dari nama “Pagalihan” ini lama-lama berubah menjadi : Pagelen dan
terakhir menjadi Bagelen. Di kawasan tersebut mengalir sungai
yang besar, yang waktu itu dikenal sebagai sungai Watukuro. Nama “
Watukuro “
Peta wilayah Kabupaten Purworejo |
Pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari
ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan
Siva, atau tanggal 5 Oktober 901 Masehi, terjadilah suatu
peristiwa penting, pematokan Tanah Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan
dengan sebuah prasasti batu andesit yang dikenal sebagai prasasti Boro Tengah
atau Prasasti Kayu Ara Hiwang. Prasasti yang ditemukan di bawah pohon Sono di
dusun Boro tengah, Kecamatan Banyuurip dan sejak tahun 1890 disimpan di Museum
Nasional Jakarta Inventaris D 78 Lokasi temuan tersebut terletak di tepi sungai
Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.
Dalam Prasasti Boro tengah atau Kayu
Ara Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah
diadakan upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan
menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah
Rakryan Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa
yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan
dikemudian hari memang naik tahta sebagai raja pengganti iparnya itu.
Pematokan (peresmian) tanah perdikan
(Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh seorang pangeran, yakni Dyah Sala
(Mala), putera Sang Bajra yang berkedudukan di Parivutan.
Disebut-sebutnya “guha”
dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut ada dugaan, bahwa guha yang dimaksud
adalah gua Seplawan, karena di dekat mulut gua Seplawan memang terdapat
bangunan suci Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika yoninya
diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula sepasang arca emas dan
perangkat upacara. Sehingga lokasi kompleks gua Seplawan di duga kuat adalah
apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” dalam prasasti Kayu Ara
Hiwang.
Upacara 5 Oktober 901 M di Boro
Tengah tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 15 pejabat dari berbagai daerah.
Kepada para pejabat tersebut diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik
ganja haji patra sisi, emas dan perak. Peristiwa 5 Otober 901 M tersebut akhirnya
pada tanggal 5 Oktober 1994 dalam sidang DPRD Kabupaten Purworejo dipilih dan
ditetapkan untuk dijadikan Hari jadi Kabupaten Purworejo. Normatif, historis,
politis dan budaya lokal dari norma yang ditetapkan oleh panitia, yakni antara
lain berdasarkan pandangan Indonesia Sentris.
Paska Perang Jawa, kawasan Kedu
Selatan yang dikenal sebagai Tanah Bagelen dijadikn Karesidenan Bagelen dengan
Ibukota di Purworejo, sebuah kota baru gabungan dari 2 kota kuno,
Kedungkebo dan Brengkelan.
Dalam perjalanan sejarah, akibat
ikut campur tangannya pihak Belanda dalam bentrokan antara para bangsawan
kerajaan Mataram, maka wilayah Mataram dipecah mejadi dua kerajaan. Kasunanan
Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Tanah Bagelen akibat Perjanjian Giyanti 13
pebruari 1755 tersebut sebagai wilayah Negara Gung juga dibagi, sebagian masuk
ke Surakarta dan sebagian lagi masuk ke Yogyakarta, namun pembagian ini tidak
jelas batasnya sehingga oleh para ahli dinilai sangat rancu diupamakan sebagai
campur baur seperti “rujak”.
Dalam Perang Diponegoro abad ke XIX,
wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang pertempuran karena pangeran Diponegoro
mndapat dukungan luas dari masyarakat setempat. Pada Perang Diponegoro itu,
wilayah Bagelen dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda
dengan ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi
beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten
Purworejo dipimpin oleh Bupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama.
Dalam perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk
wilayah Kadipaten Purworejo.
Dengan pertimbangan strategi jangka
panjang, mulai 1 Agustus 1901, Karesienan Bagelen dihapus dan
digabungkan pada karesidenan kedu. Kota Purworejo yang semula Ibu Kota
Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten.
Tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia
belanda merubah administrasi pemerintah di Kedu Selatan, Kabupaten Karanganyar
dan Ambal digabungkan menjdi satu dengan kebumen dan menjadi Kabupaten kebumen.
Sedangkan Kabupaten Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah
sejumlah wilayah yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut Sewu/Ledok
menjadi Kabupaten Purworejo. Sedangkan kabupaten Ledok yang semula bernama Urut
Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.
B.
Tokoh
Dari Purworejo
C.
Lambang
Lambang daerah berbentuk perisai dengan gaya artistik
yang berisi makna sebagai berikut:
Pohon Beringin
|
:
|
bermakna rasa kebangsaan dan
pengayoman
|
Bedug dengan 17 pantek
|
:
|
merupakan ciri khas daerah
Purworejo, dengan keistimewaannya yang terbuat dari kayu jati utuh
merupakanyang terbesar di Indonesia
|
Cakra dengan 17 mata
|
:
|
dalam cerita pewayangan merupakan
senjata Wisnu dalam tugasnya memelihara kesejahteraan dan memberantas angkara
murka
|
Bintang segi lima
|
:
|
menunjukkan bahwa Rakyat Purworejo
adalah masyarakat yang Berketuhanan YME
|
Pita merah putih
|
:
|
menunjukkan bahwa Purworejo adalah
bagian dari negara Republik Indonesia
|
Gelombang di kanan-kiri bintang
|
:
|
menggambarkan keadaan alam
Purworejo yang disebelah utara merupakan daerah pegunungan yang penuh dengan
kekayaan alam
|
Garis-garis putih dibawah gelombang
hijau
|
:
|
menggambarkan keadaan alam
Purworejo yang mempunyai sungai-sungai yang sangat penting terutama untuk
pertanian misalnya S. Bogowonto dan S. Jali
|
Petak-petak dibawah garis
|
:
|
menggambarkan keadaan alam yang
bagian tengah dan selatan penuh dengan sawah dan ladang
|
Padi 45 butir dan kapas 8 buah
|
:
|
menggambarkan cita-cita masyarakat
menuju masyarakat adil dan makmur.
Catatan : cakra 17 mata, kapas 8 buah,
padi 45 butir- melambangkan kesetiaan rakyat Purworejo pada Proklamasi
17-8-1945
|
Tiang di tepi kanan dan kiri
|
:
|
merupakan lambang penegakkan
kebenaran dan keadilan
|
Lipatan-lipatan / wiron di kanan
kiri bawah
|
:
|
lambang kerapihan, kehalusan,
keramahan, kehalusan budi
|
Bokor dengan style kepala banteng
|
:
|
bokor adalah wadah / tempat,
melambangkan kebesaran jiwa rakyat dan pemerintah daerah yang mampu menampung
berbagai masalah kehidupan. Kepala banteng lambang kerakyatan atau keinginan
mewujudkan Demokrasi Pancasila
|
Pita putih bertuliskan PURWOREJO
|
:
|
bermakna kesucian, ketulusan,
keluhuran budi
|
Rantai
|
:
|
lambang kemanuasiaan dan gotong
royong. Bentuk persegi lambang wanita, bentuk bulat lambang pria
|
Dasar hitam
|
:
|
bermakna keabadian, keteguhan hati,
ketenangan
|
D.
Pariwisata
1.
Goa Seplawan
Goa Seplawan terletak di Desa
Donorejo, Kecamatan Kaligesing dengan jarak tempuh + 20 km ke arah Timur dari
pusat kota Purworejo dengan ketinggian 700 m dpl sehingga udaranya sangat
sejuk. Goa ini memiliki ciri khusus berupa ornamen yang terdapat di dalam goa,
antara lain staklatit, staklamit, flowstone, helekit, soda straw, gower dam dan
dinding-dindingnya berornamen seperti kerangka ikan. Panjang Goa Seplawan + 700
m dengan cabang-cabang goa sekitar 150-300 m dan berdiameter 15 m. Goa alam
yang sangat menakjubkan ini menjadi semakin terkenal dengan diketemukannya arca
emas Dewa Syiwa dan Dewi seberat 1,5 kg pada tanggal 28 Agustus 1979 yang
sekarang arca tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Replika patung yang ditemukan di Goa Seplawan |
Goa ini menjadi istimewa karena
disebut-sebut dalam Prasasti Kayu Arahiwang. Dalam prasasti itu dengan jelas
disebutkan bahwa salah satu tempat yang harus dijaga karena kesuciannya adalah
Goa Seplawan.
Dan agaknya hal itu memang benar.
Karena saat pertama kali ditemukan pada tanggal 28 Agustus 1979, di dalam salah
satu lorong goa ditemukan sebuah arca sepasang dewa dewi yang terbuat dari emas
murni. Keberadaan patung sepasang dewa dewi yang tak lain adalah Dewa Syiwa dan
Dewi Parwati ( seberat 1,5 kg ) tersebut, menunjukkan kalau Goa Seplawan
sebelumnya dijadikan sebagai tempat pemujaan.
Kondisi di dalam Goa Seplawan |
Patung itu kemudian dibawa ke
Jakarta dan disimpan di Musium Nasional Jakarta. Selain sakral, goa ini juga
memiliki keindahan yang sangat luar biasa. Hamparan stalaktit dan stalagnit di
setiap lorong goa, menciptakan kesan tersendiri bagi para pengunjung goa. Tak
hanya itu gemericik air yang menetes dari bebatuan penyusun goa mampu
menenangkan hati siapapun yang masuk ke dalamnya.
Di dekat mulut Goa Seplawan terdapat
candi Gondoarum. Candi Gondoarum sendiri saat ini nyaris tak berbentuk lagi.
Yang tersisa hanyalah bekas-bekas pondasi dasar candi, yang sepintas terlihat
mirip batu biasa yang berserakan. Hanya saja yang membedakan adalah, adanya
beberapa guratan ukiran pada beberapa sisi batu yang bila dirangkai bisa saling
berhubungan.
Gardu Pandang di Goa Seplawan |
“ Candi ini diduga lebih tua dari
pada Candi Borobudur. Dan disebut Gondoarum karena waktu lingga yoninya
diangkat, keluar semerbak bau harum. Sehingga sampai sekarang tidak ada orang
yang berani berbuat jelek di tempat ini. “
Letak lingga yoni itu sendiri tepat
di samping candi, dan sekarang telah dibuatkan satu cungkup sederhana untuk
melindunginya. Sebenarnya pihak museum berniat mengamankan benda itu. Namun
sepertinya “ penunggu “nya tidak mengijinkan. Sehingga sampai sekarang batu
yang merupakan simbol penyatuan kehidupan tersebut tetap dibiarkan di tempat
semula.
Penginapan sebagai fasilitas di Goa seplawan |
2.
Pantai
Jatimalang
Obyek pariwisata ini terletak di Desa Jatimalang,
Kecamatan Purwodadi yang berjarak +18 Km dari pusat Kota Purworejo. Obyek
wisata Pantai Jatimalang merupakan obyek wisata alam dengan perpaduan antara
hamparan rawa/ tambak dan keindahan Pantai Laut Selatan.
Kawasan Pantai Jati Malang |
Menurut searah, pantai ini pada tahun 1942 pernah
dijadikan sebagai tempat pendaratan kapal yang mengangkut tentara Jepang. Hal
ini dapat dimungkinkan karena disamping daerahnya sepi, Pantai Jatimalang
sangat mudah dijangkau dan tidak begitu jauh dari pemukiman. Obyek wisata ini
telah dilengkapi beberapa sarana prasarana seperti jalan hotmix sampai tepi
pantai, bangunan gasebo, hiburan café, dan karaoke.
3.
Curug Muncar
Air terjun Curug Muncar terletak 45 km arah barat laut
dari pusat Kota Purworejo. Tepatnya terletak di Desa Kaliwungu, Kec. Bruno, di
Kawasan Perhutani. Air terjun ini berada di ketinggian 900 m diatas permukaan
laut. Curug Muncar ini masih sangat alami, belum tersentuh oleh bermacam-macam
teknologi manusia. Oleh karena itu jika Anda menyukai petualangan alam maka
Curug Muncar dapat menjadi pilihan yang tepat. Pengunjung yang pernah ke lokasi
ini umumnya mengaku puas dapat menikmati keasrian alam sebagai kekayaan bumi
nusantara.
Kawasan Curug Muncar |
4.
Pantai Pasir
Puncu & Ketawang
Selain Pantai Jatimalang, di Kabupaten Purworejo masih
ada obyek wisata pantai lain yaitu Pantai Pasir Puncu dan Ketawang yang
terletak di Desa Harjobinangun, dan Ketawang Kec. Grabag, sekitar 22 km dari
pusat kota Purworejo. Pantai Pasir Puncu dan Ketawang memiliki pesona yang
hampir sama dengan Pantai Jatimalang.
Akses jalan menuju pantai ini juga relatif tidak
sulit. Bila kita berangkat dari terminal Harjobinangun jauhnya sekitar 2 km
sehingga dapat ditempuh dengan ojek atau dokar. Sehingga para pengunjung dapat
menikmati deburan ombak dan semilir angin pantai. Selamat mengunjungi.
Untuk lebih menarik minat pengunjung dan investor
Pemda setempat pada momen tertentu menggelar acara lomba pacuan kuda, dan balap
motor (racing) di pantai ini. Namun, karena belum terjadwal rutin,
penggarapannya pun masih terlihat amatiran. Dalam kaitan ini, diperlukan “tangan”
event organizer untuk penyelenggaraannya.
5.
Benteng Pendem
Benteng Pendem terletak di
perbukitan Dukuh Kaliwaru, Dusun Bapangsari Krendetan, Kec. Bagelen di
ketinggian 200 m di atas permukaan laut. Benteng Pendem ini merupakan
peninggalan tentara Jepang yang dibangun pada 1945 dengan jumlah seluruhnya 29
buah. Di masa perang dulu tujuan dibangunnya benteng ini adalah sebagai tempat
pertahanan dan pengintaian Jepang dalam menghadapi musuh, terutama yang datang
dari arah Laut Selatan. Sayangnya, sebagai saksi bisu sejarah, benteng ini
kurang terawat. Di masa datang diharapkan benteng ini dapat menjadi perhatian
Pemda terutama aspek perawatannya sehingga dapat menarik minat wisatawan untuk
berkunjung. Selama ini lokasi Benteng banyak dikunjungi muda-mudi sebagai
tempat rekreasi.
6. Wisata Religi:
Bedug Kyai Bagelen
Di kabupaten Purworejo, terdapat
bedug Bagelen. Bedug ini adalah bedug terbesar dii dunia. Bedug ini turut
memberiksn peran bagi perkembangan islam di Jawa Tengah. Bedug ini terletak di
Masjid Darul Muttaqin, Purworejo. Bedug ini tetap menjadi fungsinya, ditabuh
sebagai penanda waktu sholat. Ukuran atau spesifikasi bedug ini adalah :
Panjang 292 cm, keliling bagian depan 601 cm, keliling bagian belakang 564 cm,
diameter bagian depan 194 cm, diameter bagian belakang 180 cm. Bagian yang
ditabuh dari bedug ini dibuat dari kulit banteng.
Bedug Kyai Bagelen sebagai bedug terbesar di dunia |
E.
Kuliner
2. Tahu Kupat (beberapa wilayah menyebut
"kupat tahu"), sebuah masakan yang berbahan dasar tahu dengan bumbu
pedas yang terbuat dari gula jawa cair dan sayuran seperti kol dan kecambah.
4. Clorot : makanan terbuat dari tepung beras dan gula
merah yang dimasak dalam pilinan daun kelapa yang masih muda (janur kuning).
(Berasa dari kecamatan Grabag)
6. Lanting : makanan ini bahan dan
bentuknya hampir sama dengan geblek, hanya saja ukurannya lebih kecil. Setelah
digoreng lanting terasa lebih keras daripada geblek. Namun tetap terasa gurih
dan renyah.
7. Kue Satu : Makanan ini terbuat dari tepung ketan,
berbentuk kotak kecil berwarna krem, dan rasanya manis
8. Kue Lompong : Berwarna hitam, dari gandum
berisi kacang dan dibugkus dengan daun pisang yang telah mengering berwarna
kecoklatan (klaras).
10. Krimpying : Makanan ini berbahan dasar
singkong, seperti lanting tapi berukuran lebih besar dan lebih keras, berwarna
krem, bentuknya bulat tidak seperti lanting yang umumnya berbentuk seperti
angka delapan. Rasa makanan ini gurih.
F.
Kesenian
Purworejo
memiliki kesenian yang khas, yaitu dolalak, tarian
tradisional diiringi musik perkusi tradisional seperti : Bedug, rebana,
kendang. Satu kelompok penari terdiri dari 12 orang penari, dimana satu
kelompok terdiri dari satu jenis gender saja (seluruhnya pria, atau seluruhnya
wanita). Kostum mereka terdiri dari : Topi pet (seperti petugas stasiun
kereta), rompi hitam, celana hitam, kacamata hitam, dan berkaos kaki tanpa
sepatu (karena menarinya di atas tikar). Biasanya para penari dibacakan mantra
hingga menari dalam kondisi trance (biasanya diminta untuk makan padi, tebu,
kelapa) kesenian ini sering disebut juga dengan nama Dolalak. Tarian ini merupakan peninggalan
pada zaman penjajahan Belanda. Asal kata Dolalak adalah dari not Do dan La karena
tarian ini diiringi hanya dengan alat musik dua nada, tentunya pada zaman dulu
awal mula Dolalak.
Penari Dolalak |
Seiring perkembangan zaman dan
teknologi, tarian Dolalak sekarang sudah diringi dengan musik modern, yaitu
keyboard. Lagu-lagu yang dimainkan pun bervariasi dan beragam.
Penari Dolalak pada mulanya
dilakukan oleh para lelaki, berseragam hitam dan bercelana pendek. Seragam ini
menirukan seragam tentara belanda pada zaman dahulu. Seiring waktu, muncullah
generasi-generasi penari putri dengan disertai modifikasi-modifikasi seragam.
Dan sekarang, keberadaan penari putra amat jarang, salah satu grup penari yang
masih memiliki penari putra adalah grup tari Dolalak dari Kaligesing.
Penari-penari Dolalak bisa mengalami trance, yaitu suatu kondisi mereka
tidak sadar karena sudah begitu larut dalam tarian dan musik. Tarian Dolalak
saat ini sudah berkembang pesat bahkan sudah menjadi brand image Kabupaten
Purworejo.
Dolalak semakin populer di kalangan
generasi muda. Hal ini tidak luput dari peran Pemerintah Daerah Purworejo yang
terus mengembangkan dan melestarikan kesenian asli daerah Purworejo ini. Bahkan
di setiap event-event tingkat nasional kesenian Dolalak selalu tampil sebagai
suatu kesenian yang unik. Di setiap lomba-lomba kesenian tingkat nasional
kesenian Dolalak selalu menjuarai.
Parade Tari Dolalak di Alun-alun Purworejo dalam rangka memecahkan rekor muri |
Kesenian Dolalak selalu ditampilkan
dalam Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia, Jambore Pramuka dari tingkat
daerah sampai Nasional, pertunjukkan budaya antar daerah, bahkan sudah
melanglang ke beberapa negara di Asia dan Eropa. Oleh karena itu Dolalak perli
dipatenkan sebagai kesenian asli Indonesia pada umumnya dan menjadi kesenian
asli daerah Kabupaten Purworejo pada khususnya.
BAB III
PENUTUP
Purworejo merupakan
kabupaten yang sangat kaya akan kearifan lokal. Kearifan lokal ini dapat
menjadi nilai jual tersendiri bagi kabupaten purworejo. Jika hal ini dapat
dimanfaatkan dengan maksimal oleh pemerintah daerah, maka dapat dipastikan
Kabupaten purworejo dapat mempunyai penghasilan asli daerah yang yang sumber
utamanya adalah dari implementasi learifan lokal kabupaten Purworejo, yaitu
sektor pariwisata. Maka dari itu, sebaiknya pemerintah daerah harus mengelola
kearifan lokal yang dimiliki kabupaten Purworejo agar kabupaten Purworejo tetap
berirama.
0 Response to "Identitas Lokal Kabupaten Purworejo"
Post a Comment